PPTQ AL-ASY’ARIYYAH PUSAT

Jl. KH. Asy'ari No. 09 Kel. Kalibeber Rt 01 Rw 02 Kec. Mojotengah

Pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap atas tipu daya Belanda di Magelang termasuk para pengawalnya. Diantara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah Raden Hadiwijaya dengan nama samaran KH. Muntaha bin Nida Muhammad.

Pada tahun 1832 M, Kiai Muntaha bin Nida meloloskan diri ke daerah yang sulit dijangkau Belanda, yaitu di daerah Wonosobo tepatnya di desa Kalibeber. ketika itu Kalibeber masih merupakan ibu kota Kawedanan Garung. Di daerah inilah Beliau kemudian mendirikan padepokan santri dan langgar, di dukuh Karangsari, Ngebrak yang terletak di pinggir Kali Prupuk. Di tempat ini Beliau mengajarkan ilmu agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat sekitar. Pada waktu itu masyarakat Kalibeber belum banyak yang menganut agama Islam, dengan ketekunan dan kesabaran Beliau, secara berangsur-angsur masyarakat Kalibeber banyak yang memeluk agama Islam dan meninggalkan adat istiadat nenek moyang  yang menyalahi syariat islam.

Setelah membina santrinya selama 28 tahun, KH. Muntaha Bin Nida Muhammad wafat, tepatnya pada tahun 1860. Setelah sepeninggal Beliau, padepokan santri yang semakin lama semakin bertambah santrinya diteruskan oleh  putranya yang bernama KH. Abdurrahim. Pada masa kepemimpinan KH. Abdurrahim, padepokan santri mengalami perkembangan yang sangat pesat, hingga pada tahun  1961 Beliau dipanggil ke rahmatullah. Selanjutnya padepokan santri dipimpin oleh putra Beliau yakni KH. Asy’ari. pada tahun kepemimpinan KH. Asy’ari terjadi pergolakan fisik melawan penjajahan Jepang dan Belanda. Padepokan santri yang Beliau asuh-pun tak luput dari serbuan para tentara Belanda, hingga koleksi mushaf Al Qur’an tulisan tangan yang ditulis oleh KH. Abdurrahim hilang, di samping itu berbagai kitab yang dimiliki pun hilang.

Strategi yang Beliau terapkan adalah melibatkan santri yang dianggap mampu dan cakap untuk mengusir penjajah. Karena usia Beliau yang sudah uzur, Beliau terpaksa mengungsi di desa Deroduwur. Desa ini masih di wilayah kecamatan Mojotengah dan berjarak kurang lebih 8 Km dari desa Kalibeber. Di tengah pergolakan perang, KH. Asy’ari wafat dalam pengungsian dan dimakamkan di tempat pengungsian pada tanggal 13 Dzulhijjah 1371 H.

Dari ke-enam putra  Beliau yang melanjutkan estafet kepemimpinan sebagai pengasuh padepokan santri adalah putra beliau yang ke-3, yakni KH. Muntaha Alhafidz.

Di bawah kepemimpinan Beliau Padepokan santri yang semula bernama Al Hidayah kemudian berganti nama menjadi Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah. Dalam perkembangannya Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah menuai kemajuan yang sangat pesat. Beliau melakukan berbagai langkah inovatif dan pengembangan dalam berbagai aspek. Langkah pengembangan yang Beliau usung disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Pengembangan itu antara lain ; pada masa awalnya Pondok Pesantren Al Asy’ariyyah yang lebih mengkhususkan pada pengkajian kitab salafiyah, kemudian ditambahkan pengkajian ilmu-ilmu Al Qur’an dan hafalan Al Qur’an. tidak hanya itu, Beliaupun mulai mendirikan sekolah-sekolah formal dari mulai TK hingga Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ), sehingga dalam waktu yang tidak lama jumlah santripun bertambah banyak. Metode pendidikan yang dipraktekkan dalam mendidik para santri adalah dengan mengkolaborasikan antara sistem Kholafiyah (Modern) serta sistem Salafiyah (Tradisional) sehingga terjadilah keseimbangan menurut perputaran zaman. Sistem tersebut dikenal dengan sistem semi modern. Khusus untuk santri yang menghafal Beliau menggunakan metode klasik yakni menggunakan metode sorogan, takror dan Halaqoh waktu nambah setoran sekitar bakda subuh sampai selesai, untuk takror bakda ashar, untuk yang putri ditambah dengan bakda dhuha, waktu ini diharukan untuk takror sedangkan untuk bakda asahar diperbolehkan untuk memilih salah satunya.  Selesai menerima hafalan para santri dilanjutkan dengan Halaqoh,dalam Halaqoh ini  KH. Muntaha al Hafidz mengajarkan semua santri baik yang masih pemula maupun yang sudah Senior dengan membaca Al Qur’an secara bin-nazar menggunakan metode Tajrid. Dalam Halaqoh  ini KH. Muntah al Hafidz membacakan ayat-ayat Al Qur’an dan ditirukan dengan seksama oleh semua santri. Dalam kesempatan ini semua santri berkesempatan untuk melihat, mendengar, dan mempelajari secara langsung bagaimana KH. Muntaha al Hafidz membaca Al Qur’an. selain itu, Halaqoh ini dimaksudkan untuk mempelajari makhorijul huruf dan bagaimana membunyikannya dengan benar.

KH. Muntaha Al hafidz adalah seorang Ulama’ yang seriyus, kreatif, sederhana, pemurah dan seorang pribadi yang berakhlakul karimah. Orang-orang menyebutnya berhati segara (laut), hatinya bagai samudera luas dan seperti air, setinggi apapun tempatnya, air mengalir ke arah dan tempat yang lebih rendah serta memberi manfaat bagi siapa saja yang memakainya. Beliau merupakan hamba Allah yang sesungguhnya, dalam hal zuhud dan taqwa, Beliau telah sampai pada maqom ma’rifat, keyakinan hati Beliau begitu tinggi sehingga seluruh hidupnya penuh dengan ketaatan kepada Allah SWT. Banyak wali Allah yang zuhud dan menjauhi dunia, tetapi Beliau merupakan seorang wali yang zahid dan membangun dunia.

Beliau adalah seorang ‘alim yang memiliki pengetahuan luas, tidak hanya sebatas pada pengetahuan agama saja, akan tetapi juga memiliki berbagai pengetahuan umum termasuk di dalamnya masalah siasah (politik), dibuktikan dengan Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Wonosobo pada tahun 1956. Tahun 1959 Beliau diangkat sebagai anggota Konstituante RI mewakili NU Jawa Tengah. Selain itu, pada tahun 1997 Beliau menjabat sebagai anggota MPR RI. Di samping semua kepribadian Beliau di atas, Beliau memiliki sikap sangat keras dan teguh berpendirian.

Perjalanan  waktu telah membuktikan bahwa KH. Muntaha Al hafidz telah menjadi sosok Ulama’ panutan masyarakat di Jawa Tengah pada Khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tidak lebih dari itu Beliau telah menjadi “Pusaka” bagi Pondok Pesantren Al Asy’ariyyah dan masyarakat Wonosobo. Beliau adalah Ulama besar yang mengedepankan uswah hasanah dalam mendidik para santrinya. Dengan penuh arif dan bijaksana Beliau memutuskan masalah, dengan ketawadlu’an Beliau bersikap, dengan keistiqomahan Beliau mengajar para santri, bahkan ketika usia Beliau mencapai 92 tahun Beliau masih aktif mengajar santri.

Setelah melakukan perjuangan yang cukup lama akhirnya pada hari Rabu, tanggal 29 Desember 2004 KH.Muntaha Alh mendapatkan ketenangan yang abadi di sisi Allah SWT. Sepeninggal Beliau, kepemimpinan Pesantren diteruskan oleh putranya,  KH. Achmad Faqih Muntaha.

Beliau merupakan putra sulung KH. Muntaha Al hafidz dari istri yang bernama Nyai Hj. Maijan Jariyah, lahir di Kalibeber pada tanggal 3 Maret 1955, dalam kesehariannya Beliau akrab dipanggil dengan Abah Faqih.

Beliau menjalani masa kanak-kanak di bawah asuhan langsung dari almukarrom KH. Muntaha Al  hafidz. Selain itu Beliau juga sekolah formal di SD Kalibeber, SMP di Wonosobo dan  melanjutkan  di STM juga di Wonosobo. Setelah selesai sekolah formal Beliau dikirim untuk belajar di pesantren. Pada tahun 1973 Beliau nyantri di pondok  Pesantren Termas Pacitan, di bawah asuhan KH. Chabib Dimyati, sampai tahun 1978. Kemudian Beliau melanjutkan nyantri di Krapyak selama 1 tahun, yang pada waktu itu diasuh oleh KH. Ali Maksum. Selanjutnya Beliau nyantri di Buaran Pekalongan, kepada Al Mukarrom KH. Syafi’i. Pada tahun 1980 Beliau pulang ke Kalibeber yang dilanjutkan nyantri di Kaliwiro kepada seorang kyai yang terkenal dengan panggilan Mbah Dimyati. Meskipun Beliau adalah keturunan dari seorang ulama yang kharismatik, Beliau tetap menjadi pribadi yang sederhana, sesuai didikan dari ayahanda Beliau, tidak berlebih-lebihan dan apa adanya. Hal inilah yang mewarnai kepribadian dan kehidupan Beliau sehari-hari. 

Belum genap satu tahun Beliau nyantri dengan Mbah Dimyati, Beliau melangsungkan akad nikah dengan seorang santri Kalibeber yang bernama Shofiyah binti KH. Abdul Qodir dari Sukawera Cilongok Banyumas. Kendati Beliau telah melangsungkan pernikahan, namun bukan berarti akhir dalam menuntut ilmu, karena Beliau masih tetap nyantri dengan Mbah Dimyati di Kaliwiro selama lebih dari satu tahun.

Setelah pulang dari pesantren, pada tahun 1980, Beliau aktif mengajar di pondok pesantren milik ayahandanya dan ikut berkecimpung dalam masyarakat. Waktu itu santri di Kalibeber baru sekitar 50 orang putra dan putri dengan prioritas Tahfidzul Qur’an (menghafal Al Qur’an) dengan menggunakan sistem salafy. 

Setelah KH. Muntaha Al  hafidz wafat, Abah Faqihlah yang melanjutkan estafet kepemimpinan dalam mengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah. Beliaupun meneruskan cita-cita ayahanda yang belum terrealisir. Diantaranya : SD Tahassus Al Qur’an Kalibeber, Menara Masjid Baiturrahim dan gedung baru Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah, dan masih banyak lagi. Satu cita –cita Beliau yang belum terealisasi sampai sekarang adalah menjadikan Kalibeber sebagai “ semacam Vatikan”.

Di bawah pengasuhannya, Beliau fokus dalam pengajaran kitab-kitab kuning, karena pada dasarnya, Beliau dari dulu memang dari pondok salaf,  sedangkan untuk tahfidzul Qur’an Beliau amanatkan kepada istri Beliau, ibu Nyai Shofiyah dan Kyai As’ad yang biasa dengan panggilan Pak Ad, santri kepercayaan KH. Muntaha Al  hafidz sejak dulu.

Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah dibawah pimpinan Beliau semakin pesat, dilihat dari jumlah santri yang semakin banyak, ditambah lagi dengan lembaga pendidikan yang semakin kompleks.

Sebagian besar santri Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah berasal dari Jawa Tengah sendiri, tetapi ada sebagian yang berasal dari luar Jawa. Tidak semua santri ikut menghafalkan Al Qur’an, diantaranya ada santri reguler dan salafy.

Abah Faqih tutup usia pada tanggal 21 Mei 2016 M, dimakamkan di pemakaman milik keluarga di Karangsari. Perjuangannya dalam memimpin Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al Asy’ariyyah kini diteruskan putra Beliau, Dr. KH. Abdurrahman Asy’ari, Alh. S.Hi. M.Pd.I.  yang biasa dipanggil dengan Pak Ab.

Beliau anak sulung dari Abah Faqih. Diantara saudara kandung Beliau adalah: KH. Khoirulloh Almujtaba, S. Hi., Siti Marliyah, S.Sos. I., Nuruzzaman, S. Hi., Fadlurrohman Al Faqih, dan Ahmad Itsbat Caesar.

Beliau kelahiran 23 Desember 1981. Mulai menghafalkan al Qur’an sejak SMA dan selesai tahun 1998. Setelah itu Beliau mondok di Yaman, di pondok pesantren Ribath Tarim Khadzra Maut di bawah asuhan Habib Salim As Satiri, selama kurang lebih satu tahun. Mendapat gelar S1 dan S2 di UNSIQ Wonosobo dan dilanjutkan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Prestasi yang luar biasa, Beliau mendapat gelar Doktor di usia yang masih tergolong muda dengan kategori Cumlaude.

Kemudian kepemimpinan beliau digantikan dengan KH. Khoirullah Al-Mujtaba, S.H.I. sampai saat ini.

Pertanyaan seputar pendaftaran?

Hubungi kami di layanan PMB : Kontak dan Alamat